Senin, 31 Agustus 2009

Bom Atom, Jepang dan Indonesia

Oleh : Redaksi 07 Aug, 07 - 8:30 am

imageimage”Kita sekarang telah menginjak abad manusia hampir saja mencakar langit! Kita sekarang telah menginjak abadnya atom! Seribu kali lebih besar kemungkinanya dalam abad atom itu daripada abadnya mesin uap dan abadnya listrik.

Seribu kali lebih besar kemungkinan terbukanya jalan-jalan baru untuk mempercepat pembangunan bagi kesejahteraan dunia-kemanusiaan. Akan tetapi, satu syarat pokok harus dipenuhi, satu syarat pokok menjadi tuntutan mutlak: Revolusi Atom harus disertai Revolusi Mental. Revolusi Atom harus dikawani Revolusi Moral. Kita harus berani berpikir dalam alam damai, bukan dalam alam perang. Kita harus berani berpikir dalam alam percaya-memercayai, bukan alam curiga. Kita harus berani berpikir dalam alam kerja sama, bukan dalam alam jegal-menjegal.

Jika Revolusi Atom ini tidak disertai revolusi mental dan revolusi moral, kemajuan yang dibawanya itu akan membawa manusia terjungkal dalam jurang kebencanaan.

Jauhkanlah manusia ini, ya Tuhan, dari jurang kebencanaan itu!”. Demikian cuplikan pidato Bung Karno dalam amanat Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus 1956 bertajuk ”Berilah isi kepada hidupmu”.

PROKLAMATOR dan Presiden I RI, menurut (alm.) Prof. Dr. Roeslan Abdulgani, mantan Menlu dan sejarawan terkemuka di zamannya, sejak pagi-pagi sudah dan tanpa henti berupaya membangkitkan benteng kejiwaan, benteng kerohanian, dan benteng mental yang harus membentengi revolusi ilmiah di dunia modern ini serta revolusi kemanusiaannya bangsa kita.

Jika segi mental tidak ikut kita tingkatkan nilainya dan kepandaian manusia tidak dikawal dengan moral, etika serta budi pekerti, kemajuan ilmu pengetahuan serta revolusi tekhnik akan terlepas dari tangan manusia; dan ilmu tidak akan digunakan bagi kebahagiaan serta kesejahteraan manusia, melainkan akan terjerumus sekadar menjadi alat untuk menghancurkan manusia satu sama lain.

Science harus bergandengan tangan dengan conscience! Ilmu harus bergandengan tangan dengan ngelmu. Ilmu pengetahuan harus bergandengan tangan dengan Hati-Nurani-Manusia. Begitu inti tanggapan para pemimpin RI di era awal kemerdekaan tentang perenungan atas peristiwa bom atom AS atas Hiroshima dan Nagasaki.

Bagaimana juga situasi di Indonesia menjelang dan setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima? Beberapa arsip surat kabar Asia Raya, Tjahaya atau Sinar Baru terbitan Mei, Juni dan Juli 1945 yang terangkum di buku Menjelang Indonesia Merdeka (Penerbit Gunung Agung, 1982) agaknya bisa mewakili secuplik peristiwa di era itu.

Tanggal 29 April 1945 melalui Maklumat Gunseikan (Lembaga Penguasa Darurat Militer Balatentara Dai Nippon, Kekaisaran Jepang di Indonesia) dibentuk dasar hukum bagi Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (selanjutnya disebut Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI). Anggota Badan Penyelidik dibatasi 62 orang dan kepada kaum cerdik pandai yang tidak termasuk anggota dimintakan kesediaannya ikut mengajukan buah pikiran dan usul-usul melalui anggota Badan Penyelidik.

”Mata Bangsa Indonesia dalam saat terakhir ini telah terbuka untuk melongok keadaan internasional, terutama sejak diserangnya Port Arthur oleh Balatentara Jepang,” tulis Winarno Danuatmodjo di Sinar Baru terbitan 21 Mei 1945, seraya menyebut, ”Sejak mendaratnya Balatentara (Jepang) di Indonesia sudah ada sejumlah ahli Bangsa Indonesia yang tengah bersiap dengan bahan-bahan bagi negara Indonesia kelak”.

Dalam rumusan Pembukaan UUD, Bung Karno memutuskan untuk menerima masukan dari rekan seperjuangannya, Wasithah saat itu (1936-1948) yang bermukim di Takeran, Madiun, yaitu Kiai Imam Mursyid Muttaqin As., berbunyi, ”Dengan Berkah dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa....”

”Jadi, kitalah satu-satunya negara di bumi ini yang dibentuk atas rida dan berkah Tuhan Yang Maha kuasa. Kita mesti berbesar hati dan berjiwa besar, sebab ini sudah diselaraskan dengan wahyu-Nya dalam Surat Ar-Raad ayat 11, yaitu ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, jika bangsa itu sendiri tidak mengubah jiwanya”.

Roeslan Abdulgani, yang juga mantan Dubes Luar Biasa RI untuk PBB menyatakan, Bung Karno berpikiran, manusia Indonesia merdeka, kelak dalam menentukan apa yang harus ia kerjakan bagi dirinya sendiri tidaklah boleh bersikap absolut, tak terbatas, melainkan dia harus menghadapkan dirinya juga kepada kenyataan-kenyataan di luar kemampuan dirinya, yaitu kepada Tuhan Yang Mahakuasa. ”Hal inti itulah yang membedakan Republik Indonesia dengan negara mana pun,” ujar Roeslan Abdulgani.

SEBANYAK 200 pemuda dari segenap penjuru Indonesia ikut bermusyawarah di gedung Musium Perang di Lembang, Bandung sejak tanggal 16 hingga 18 Mei 1945 dalam usaha menyambut Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dilaporkan oleh surat kabar Tjahaya edisi 24 Mei 1945.

Dalam Kongres Pemuda Indonesia itu dirumuskan mosi, tanggal 9 Maret 1942 adalah hari jatuh dan runtuhnya kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia dan terlepasnya rakyat Indonesia dari belenggu Imperialisme Barat. Tanggal 7 September 1944 adalah hari Janji Kemerdekaan Indonesia, hari permulaan pengakuan akan adanya rakyat Indonesia sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai tanah air Indonesia, dan yang akan selekasnya mempunyai negara Indonesia.

Selaras dengan cita-cita Dai Nippon yang hendak memerdekakan bangsa-bangsa Asia dan pembentukan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya berdasarkan cita-cita Hakkoo Itiu dan sejalan pula dengan cita-cita Rakyat Indonesia yang hendak melepaskan dirinya dari belenggu tiap-tiap penjajahan, maka sejak saat itu Rakyat Indonesia tiba ke tingkatan perjuangan baru.

Dalam pergolakan perjuangan dunia di masa itu, Indonesia--sebagai salah satu mata rantai dari perjuangan seluruh bangsa Asia--akan keluar dan tampil ke muka ke dalam kancah pertarungan sebagai bangsa yang bertanah air satu dan mempunyai negara Indonesia.

Sudah disadari sejak zaman pendudukan Jepang itu, hanya dalam negara Indonesia Merdeka, rakyat Indonesia terhindar dari semangat perbudakan dan terlepas dari pengaruh imperialisme Barat. Hanya dalam Negara Indonesia Merdeka, rakyat Indonesia dapat mewujudkan jiwa merdeka dan terjaminnya kemakmuran rakyat.

Mengingat akan genting dan memuncaknya keadaan peperangan dewasa ini dan terancamnya kemerdekaan seluruh Asia, dan mengingat keberanian dan kesanggupan rakyat dan pemuda Indonesia yang penuh rasa tanggung jawab dan keikhlasan untuk menentukan nasib bangsanya dan ikut menjamin nasib bangsa-bangsa Asia, untuk lebih mengeratkan kekuatan, kesatuan pikiran, kesatuan kemauan, kesatuan tindakan di antara bangsa Indonesia khususnya dan di antara bangsa-bangsa Asia pada umumnya, sudah datang saatnya bagi lahirnya bangsa dan negara baru, yaitu Negara Indonesia Merdeka sebagai rantai kekuatan baru menghadapi musuh.

FILSUF Jerman, Nietzche menggagas, homo homini lupus, manusia itu adalah srigala bagi sesama manusia. Ya, pendapat itu terbukti, ketika Rusia yang ikut kekuatan Sekutu sukses ”membalas dendam” memasuki Berlin April-Mei 1945, tentara Merahnya habis-habisan menjarah, merampoki dan memerkosa warga Berlin, ibu kota Jerman.

Pimpinan Soviet, Stalin meminta bagian zona Moskwa di Jerman, yaitu Jerman Timur, sementara Amerika mengelola Jerman bagian baratnya selepas berakhirnya perlawanan Nazi, rezim Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.

image”Perilaku bak srigala juga menyergap balatentara Dai Nippon saat meluaskan imperiumnya ke Manchuria (1931), lalu tahun 1937 menduduki Nanking, Peking, dan Shanghai di Daratan Cina. Jepang dengan kekuatan militernya yang berkehendak sebagai bangsa unggul di Asia Timur juga merampas sebagian besar wilayah utara Cina dan bekas koloni Prancis, Indocina (Vietnam). Sedikitnya delapan juta orang tewas di tangan senapan dan bayonet serta meriam dan pesawat pengebom Jepang kala itu.

Saat balatentara Dai Nippon mengamuk, menjadi alat imperialis Imperium Jepang, perilaku bak srigalanya dikenang dengan julukan peristiwa ”Kengerian di Timur” (Horror in the East, judul film arsip dokumenter BBC/Discovery Channel mengenai kekejaman Jepang di era PD II)-- suatu kurun masa PD II terburuk di Filipina, Burma, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea dan Cina, serta Indonesia.

Ingat pakaian dari karung goni? Ingat sistem kerja paksa romusha dan gejala pelecehan perempuan dengan dijadikan budak seks? Itu adalah catatan hitam anggota militer Jepang kala itu yang sampai sekarang masih sering dikenang. Ya, balatentara Dai Nippon adalah ”Serigala dari Timur”, karena itu nyaris sebagian besar warga dunia menyatakan setuju untuk mengakhiri segala kebiadaban aksi militer Negeri Sakura itu dengan aksi bom atomnya Amerika. Namun apa itu bentuk hukuman yang pantas? dan tepat? Serta memberikan pelajaran berharga?


Selama Perang Dunia I, Jepang memilih bersekutu dengan Inggris dan menawan para serdadu Jerman yang pernah menggempur ke Asia. Saat itu, tentara Jepang berperilaku baik.

Namun hanya tiga dekade berselang, di paruh akhir tahun 1930-an perilaku tentara Jepang berubah drastis, hingga menjurus ke mental berlaku keji dan sadis. Apa latar belakangnya?

DUA hari setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Amerika, karena berniat mengakhiri penderitaan yang tak terperi dan tanggungan beban rakyat yang tak tertahankan, Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.

Empat hari setelah bom atom kedua jatuh di Nagasaki, yaitu tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mendeklarasikan perang sudah usai, Jepang menyatakan menyerah.

”Tentara sejati lebih baik mati daripada menyerah!” begitu penegasan Jenderal Aya Anami saat rapat Dewan Tertinggi Jepang, 9 Agustus 1945 di Tokyo.

Dalam surat bunuh dirinya saat melaksanakan tradisi seppuku, di pagi hari sebelum Kaisar Hirohito mengumumkan Jepang menyerah, Jenderal Aya Anami menuliskan, ”Kematianku adalah permintaan maafku atas kejahatan besarku.”


Jika setelah tak lagi pernah berperang di medan laga, maka setelah perjuangannya dengan modal semangat bushido kini Jepang menjelma menjadi negara makmur, produktif dan suaranya berpengaruh terutama di arena diplomatik dan ekonomi. Sebaliknya Indonesia, negara yang semula pernah ”diasuh” oleh bekas Imperium di Asia Timur itu, yang demikian kaya sumber daya alamnya justru berkembang terus-menerus ke arah derita, nestapa, serta kemiskinan warganya. Kecuali, bagi sejumlah komunitas kecil warganya yang menangguk ”berlian di gundukan bencana lumpur galian sendiri”.

Apa pasalnya? Kemungkinan besar, lapisan elite berkuasa di Indonesia kini juga dirundung mimpi prestisius, rela ”menjadi serigala pemakan sesama jenisnya” meski melalui berjuta muslihat.

Indonesia juga, banyak yang sepakat, meski pernah bertekad melaksanakan reformasi total, nyatanya tak lama kemudian berada di ujung tanduk ”eksperimen” globalisasi.

Lantas, bagaimana cara menyampaikan permintaan maafnya? Mengingat bahwa kemerdekaan bangsa kita merupakan sebagian anugerah tertinggi dari Tuhan. ”Kita harus berani berpikir di alam damai,” kata Soekarno. Apa masih ada niat? Sedangkan memori pengalaman langsung ”diasuh” oleh Balatentara Dai Nippon pun kian lenyap.***

Oleh RAYENDRA ALAMSYAH
Penulis, wartawan ”Pikiran Rakyat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar